Kamis, 22 November 2012

ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT JANTUNG REUMATIK (PJR)/ Rheumatic Heart Disease (RHD)


A.      PENGERTIAN
Ø Penyakit jantung reumatik adalah penyakit yang di tandai dengan kerusakan pada katup jantung akibat serangan karditis reumatik akut yang berulang kali. (kapita selekta, edisi 3, 2000)
Ø Demam Reumatik / penyakit jantung reumatik adalah penyakit peradangan sistemik akut atau kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun oleh infeksi Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A yang mekanisme perjalanannya belum diketahui, dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu Poliarthritis migrans akut, Karditis, Korea minor, Nodul subkutan dan Eritema marginatum.


B.       ETIOLOGI
                Penyebab terjadinya penyakit jantung reumatik diperkirakan adalah reaksi autoimun (kekebalan tubuh) yang disebabkan oleh demam reumatik. Infeksi streptococcus β hemolitikus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam reumatik baik demam reumatik serangan pertama maupun demam reumatik serangan ulang.
            Faktor-faktor predisposisi terjadinya penyakit jantung rematik / Rheumatic Heart Desease terdapat pada diri individu itu sendiri dan juga faktor lingkungan.
Faktor dari Individu diantaranya yaitu :
  1. Faktor genetik
Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap demam rematik menunjukan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibodi monoklonal dengan status reumatikus.
  1. Umur
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam reumatik / penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi streptococcus pada anak usia sekolah. Tetapi Markowitz menemukan bahwa penderita infeksi streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun.


  1. Keadaan gizi dan lain-lain
Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik.
  1. Golongan etnik dan ras
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibanding dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya.
  1. Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan anak laki-laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis kelamin.
  1. Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian dinding sel streptokokus beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam katub mungkin ini mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis pada reumatik fever.
Faktor-faktor dari lingkungan itu sendiri :
  1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk terjadinya demam rematik. Insidens demam reumatik di negara-negara yang sudah maju, jelas menurun sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang; pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor yang memudahkan timbulnya demam reumatik.
  1. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.
  1. Iklim dan geografi
Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan didaerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula. Didaerah yang letaknya agak tinggi agaknya angka kejadian demam rematik lebih tinggi daripada didataran rendah.


C.       PATOFISIOLOGI
            Terjadinya jantung rematik disebabkan langsung oleh demam rematik, suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh infeksi streptokokus grup A. demam rematik mempengaruhi semua persendian, menyebabkan poliartritis. Jantung merupakan organ sasaran dan merupakan bagian yang kerusakannya paling serius.
            Kerusakan jantung dan lesi sendi bukan akibat infeksi, artinya jaringan tersebut tidak mengalami infeksi atau secara langsung dirusak oleh organism tersebut, namun hal ini merupakan fenomena sensitivitas atau reaksi, yang terjadi sebagai respon terhadap  streptokokus hemolitikus. Leukosit darah akan tertimbun pada jaringan yang terkena dan membentuk nodul, yang kemudian akan diganti dengan jaringan parut. Miokardium tentu saja terlibat dalam proses inflamasi ini; artinya, berkembanglah miokarditis rematik, yang sementara melemahkan tenaga kontraksi jantung. Demikian pula pericardium juga terlibat; artinya, juga terjadi pericarditis  rematik selama perjalanan akut penyakit. Komplikasi miokardial dan pericardial biasanya tanpa meninggalkan gejala sisa yang serius. Namun sebaliknya endokarditis rematik mengakibatkan efek samping kecacatan permanen.
            Endokarditis rematik secara anatomis dimanifestasikan dengan adanya tumbuhan kecil yang transparan, yang menyerupai manik dengan ukuran sebesar kepala jarum pentul, tersusun dalam deretan sepanjang tepi bilah katup. Manic-manik kecil itu tidak tampak berbahaya dan dapat menghilang tanpa merusak bilah katup, namun yang lebih sering mereka menimbulkan efek serius. Mereka menjadi awal terjadinya suatu proses yang secara bertahap menebalkan bilah-bilah katup, menyebabkan menjadi memendek dan menebal disbanding yang normal, sehingga tidak dapat menutup dengan sempurna. Terjadilah kebocoran, suatu keadaan yang disebut regurgitasi katup. Tempat yang palinh sering mengalami regurgitasi katup adalah katup mitral.


Penyimpangan KDM
DEMAM REMATIK
streptococcus beta-hemolyticus grup A.


reaksi imonolgy ( anti body )


sarcolemma myocardial
                                                                    

                                          toxin                       myocard rusak
                                   stretolysin titer o                                                      
                                                 

                Bersifat toxik
                      terhadap jaringan myocard





D.      MANIFESTASI KLINIS
                Gejala jantung yang muncul tergantung pada bagian jantung yang terkena. Katup mitral adalah yang sering terkena, menimbulkan gejala gagal jantung kiri: sesak napas dengan krekels dan wheezing pada paru. Beratnya gejala tergantung pada ukuran dan lokasi lesi.
Gejala sistemik yang terjadi akan sesuai dengan virulensi organisme yang menyerang. Bila ditemukan murmur pada seseorang yang menderita infeksi sistemik, maka harus dicurigai adanya infeksi endokarditis.

E.       KOMPLIKASI
            Gagal jantung dapat terjadi pada beberapa kasus. Komplikasi lainnya termasuk aritmia jantung, pankarditis dengan efusi yang luas, pneumonitis reumatik, emboli paru, infark, dan kelainan katup jantung.

F.        PEMERIKSAAN PENUNJANG
            Pasien demam rematik 80% mempunyai ASTO positif. Ukuran proses inflamasi dapat dilakukan dengan pengukuran LED dan protein C-reaktif.

G.      PENATALAKSANAAN
            Tata laksana demam rematik aktif atau reaktivitas adalah sebagai berikut:
1.    Tirah baring dan mobilisasi bertahap sesuai keadaan jantung.
2.    Eradikasi terhadap kuman streptokokus dengan pemberian penisilin benzatin 1,2 juta unit IM bila berat badan > 30 kg dan 600.000-900.000 unit bila berat badan < 30 kg, atau penisilin 2x500.000 unit/hari selama 10 hari. Jika alergi penisilin, diberikan eritromisin 2x20 mg/kg BB/hari untuk 10 hari. Untuk profilaksis diberikan penisilin benzatin tiap 3 atau 4 minggu sekali. Bila alergi penisilin, diberikan sulfadiazin 0,5 g/hari untuk berat badan < 30 kg atau 1 g untuk yang lebih besar. Jangan lupa menghitung sel darah putih pada minggu-minggu pertama, jika leukosit < 4.000 dan neutrofil < 35% sebaiknya obat dihentikan. Diberikan sampai 5-10 tahun pertama terutama bila ada kelainan jantung dan rekurensi.
3.    Antiinflamasi
Salisilat biasanya dipakai pada demam rematik tanpa karditis, dan ditambah kortikosteroid jika ada kelainan jantung. Pemberian salisilat dosis tinggi dapat menyebabkan intoksikasi dengan gejala tinitus dan hiperpnea. Untuk pasien dengan artralgia saja cukup diberikan analgesik.
Pada artritis sedang atau berat tanpa karditis atau tanpa kardiomegali, salisilat diberikan 100 mg/kg BB/hari dengan maksimal 6 g/hari, dibagi dalam 3 dosis selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan 75 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu kemudian.
Kortikosteroid diberikan pada pasien dengan karditis dan kardiomegali. Obat terpilih adalah prednison dengan dosis awal 2 mg/kg BB/hari terbagi dalam 3 dosis dan dosis maksimal 80 mg/hari. Bila gawat, diberikan metilprednisolon IV 10-40 mg diikuti prednison oral. Sesudah 2-3 minggu secara berkala pengobatan prednison dikurangi 5 mg setiap 2-3 hari. Secara bersamaan, salisilat dimulai dengan 75 mg/kg BB/hari dan dilanjutkan selama 6 minggu sesudah prednison dihentikan. Tujuannya untuk menghindari efek rebound atau infeksi streptokokus baru.

H.      PENCEGAHAN
            Dapat dicegah melalui penatalaksanaan awal dan adekuat terhadap infeksi streptokokus pada semua orang.
            Langkah pertama dalam mencegah serangan awal adalah mendeteksi adanya infeksi streptokokus untuk penatalaksanaan yang adekuat, dan pemantauan epidemi dalam komunitas. Setiap perawat harus mengenal dengan baik tanda dan gejala faringitis streptokokus; panas tinggi (38,9° sampai 40°C atau 101° sampai 104°F), menggigil, sakit tenggorokan, kemerahan pada tenggorokan disertai aksudat, nyeri abdomen, dan infeksi hidung akut.
Kultur tenggorok merupakan satu-satunya metode untuk menegakkan diagnosa secara akurat.
Pasien yang rentan memerlukan terapi antibiotika oral jangka panjang atau perlu menelan antibiotika profilaksis sebelum menjalani prosedur yang dapat menimbulkan invasi oleh mikroorganisme ini. Pemberian penisilin sebelum pemeriksaan gigi merupakan contoh yang baik. Pasien juga harus diingatkan untuk menggunakan antibiotika profilaksis pada prosedur yang lebih jarang dilakukan seperti sitoskopi.


ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PENYAKIT JANTUNG REUMATIK

A.      PENGKAJIAN
a.    Aktivitas/istrahat
Gejala      :  Kelelahan, kelemahan.
Tanda       :  Takikardia, penurunan TD, dispnea dengan aktivitas.

b.    Sirkulasi
Gejala      :  Riwayat penyakit jantung kongenital, IM, bedah jantung. Palpitasi, jatuh pingsan.
Tanda       :  Takikardia, disritmia, perpindahan TIM kiri dan inferior, Friction rub, murmur,  edema, petekie, hemoragi splinter.

c.    Eliminasi
Gejala      :  Riwayat penyakit ginjal, penurunan frekuensi/jumlah urine.
Tanda       :  Urine pekat gelap.

d.   Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala      :  Nyeri pada dada anterior yang diperberat oleh inspirasi, batuk, gerakan menelan, berbaring; nyeri dada/punggung/ sendi.
Tanda       :  Perilaku distraksi, mis: gelisah.

e.    Pernapasan
Gejala      :  dispnea, batuk menetap atau nokturnal (sputum mungkin/tidak produktif).
Tanda       :  takipnea, bunyi nafas adventisius (krekels dan mengi), sputum banyak dan berbercak darah (edema pulmonal).

f.     Keamanan
Gejala      :  Riwayat infeksi virus, bakteri, jamur, penurunan sistem imun.
Tanda       :  Demam.


B.       DIAGNOSA KEPERAWATAN
a.    Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.
b.    Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan.
c.    Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan dalam preload/peningkatan tekanan atrium dan kongesti vena.
d.   Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan filtrasi glomerulus.
e.    Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

C.       INTERVENSI
a.    Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.
Tujuan        : nyeri hilang/ terkontrol.
Intervensi   :
1.    Selidiki laporan nyeri dada dan bandingkan dengan episode sebelumnya. Gunakan skala nyeri (0-10) untuk rentang intensitas. Catat ekspresi verbal/non verbal nyeri, respons otomatis terhadap nyeri (berkeringat, TD dan nadi berubah, peningkatan atau penurunan frekuensi pernapasan).
R/    : Perbedaan gejala perlu untuk mengidentifikasi penyebab nyeri. Perilaku dan perubahan tanda vital membantu menentukan derajat/ adanya ketidaknyamanan pasien khususnya bila pasien menolak adanya nyeri.
2.    Berikan lingkungan istirahat dan batasi aktivitas sesuai kebutuhan.
R/    : aktivitas yang meningkatkan kebutuhan oksigen miokardia (contoh; kerja tiba-tiba, stress, makan banyak, terpajan dingin) dapat mencetuskan nyeri dada.
3.    Berikan aktivitas hiburan yang tepat.
R/    : Mengarahkan kembali perhatian, memberikan distraksi dalam tingkat aktivitas individu.
4.    Dorong menggunakan teknik relaksasi. Berikan aktivitas senggang.
R/    : Membantu pasien untuk istirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali perhatian sehingga menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan.
5.    Kolaborasi pemberian obat nonsteroid dan antipiretik sesuai indikasi.
R/    : Dapat menghilangkan nyeri, menurunkan respons inflamasi dan meningkatkan kenyamanan.


b.    Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan.
Tujuan        : Menunjukkan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas.
Intervensi   :
1.    Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas menggunakan parameter berikut: frekuensi nadi 20/menit diatas frekuensi istirahat; catat peningkatan TD, dispnea atau nyeri dada; kelelahan berat dan kelemahan; berkeringat; pusing; atau pingsan.
R/    : Parameter menunjukkan respons fisiologis pasien terhadap stres aktivitas dan indikator derajat pengaruh kelebihan kerja/jantung.
2.    Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh penurunan kelemahan/kelelahan, TD stabil/frekuensi nadi, peningkatan perhatian pada aktivitas dan perawatan diri.
R/    : Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat aktivitas individual.
3.    Dorong memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri.
R/    : Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.
4.    Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi, menyikat gigi/rambut dengan duduk dan sebagainya.
R/    : Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi sehingga membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
5.    Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode aktivitas.
R/    : Seperti jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan mencegah kelemahan.

c.    Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan dalam preload/peningkatan tekanan atrium dan kongesti vena.
Tujuan          :  menunjukan penurunan episode dispnea, nyeri dada, dan ditritmia.
Intervensi     : 
1.    Pantau TD, nadi apikal, nadi perifer.
R/    : Indikator klinis dari keadekuatan curah jantung. Pemantauan memungkinkan deteksi dini/tindakan terhadap dekompensasi.


2.    Tingkatkan/dorong tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 45 derajat.
R/    : Menurunkan volume darah yang kembali ke jantung (preload), yang memungkinkan oksigenasi, menurunkan dispnea dan regangan jantung.
3.    Bantu dengan aktivitas sesuai indikasi (mis: berjalan) bila pasien mampu turun dari tempat tidur.
R/    : Melakukan kembali aktivitas secara bertahap mencegah pemaksaan terhadap cadangan         jantung.
4.    Berikan oksigen suplemen sesuai indikasi. Pantau DGA/nadi oksimetri.
R/    : Memberikan oksigen untuk ambilan miokard dalam upaya untuk mengkompensasi peningkatan kebutuhan oksigen.
5.    Berikan obat-obatan sesuai indikasi. Mis: antidisritmia, obat inotropik, vasodilator, diuretik.
R/    : pengobatan distritmia atrial dan ventrikuler khusnya mendasari kondisi dan simtomatologi tetapi ditujukan pada berlangsungnya/meningkatnya efisiensi/curah jantung. Vasodilator digunakan untuk menurunkan hipertensi dengan menurunkan tahanan vaskuler sistemik (afterload). Penurunan ini mengembalikan dan menghilangkan tahanan. Diuretic menurunkan volume sirkulasi (preload), yang menurunkan TD lewat katup yang tak berfungsi, meskipun memperbaiki fungsi jantung dan menurunkan kongesti vena.

d.   Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan filtrasi glomerulus.
Tujuan        : Menunjukkan keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil, tanda vital dalam rentang normal, dan tak ada edema.
Intervensi :
1.    Pantau pemasukan dan pengeluaran, catat keseimbangan cairan (positif atau negatif), timbang berat badan tiap hari.
R/    : Penting pada pengkajian jantung dan fungsi ginjal dan keefektifan terapi diuretik. Keseimbangan cairan positif berlanjut (pemasukan lebih besar dari pengeluaran) dan berat badan meningkat menunjukkan makin buruknya gagal jantung.
2.    Berikan diuretik contoh furosemid (Lazix), asam etakrinik (Edecrin) sesuai indikasi.
R/    : Menghambat reabsorpsi natrium/klorida, yang meningkatkan ekskresi cairan, dan menurunkan kelebihan cairan total tubuh dan edema paru.
3.    Pantau elektrolit serum, khususnya kalium. Berikan kalium pada diet dan kalium tambahan bila diindikasikan.
R/    : Nilai elektrolit berubah sebagai respons diuresis dan gangguan oksigenasi dan metabolisme. Hipokalemia mencetus pasien pada gangguan irama jantung.


4.    Berikan cairan IV melalui alat pengontrol.
R/    : Pompa IV mencegah kelebihan pemberian cairan.
5.    Batasi cairan sesuai indikasi (oral dan IV).
Diperlukan untuk menurunkan volume cairan ekstrasel/ edema.
6.    Berikan batasan diet natrium sesuai indikasi.
R/    : Menurunkan retensi cairan.

e.    Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
Tujuan        : menunjukan perilaku untuk menangani stress.
Intervensi   :
1.    Pantau respons fisik, contoh palpitasi, takikardi, gerakan berulang, gelisah.
R/    : Membantu menentukan derajat cemas sesuai status jantung. Penggunaan evaluasi seirama dengan respons verbal dan non verbal.
2.    Berikan tindakan kenyamanan (contoh mandi, gosokan punggung, perubahan posisi).
R/    : Membantu perhatian mengarahkan kembali dan meningkatkan relaksasi, meningkatkan kemampuan koping.
3.    Dorong ventilasi perasaan tentang penyakit-efeknya terhadap pola hidup dan status kesehatan akan datang. Kaji keefektifan koping dengan stressor.
R/    : Mekanisme adaptif perlu untuk mengkoping dengan penyakit katup jantung kronis dan secara tepat mengganggu pola hidup seseorang, sehubungan dengan terapi pada aktivitas sehari-hari.
4.    Libatkan pasien/orang terdekat dalam rencana perawatan dan dorong partisipasi maksimum pada rencana pengobatan.
R/    : Keterlibatan akan membantu memfokuskan perhatian pasien dalam arti positif dan memberikan rasa kontrol.
5.      Anjurkan pasien melakukan teknik relaksasi, contoh napas dalam, bimbingan imajinasi, relaksasi progresif.
R/  : Memberikan arti penghilangan respons ansietas, menurunkan perhatian, meningkatkan  relaksasi dan meningkatkan kemampuan koping.


D.      EVALUASI
a.    Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.
b.    Menunjukan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas.
c.    Melaporkan/menunjukan penurunan episode dispnea, nyeri dada, dan disritmia.
d.   Menunjukkan keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil, tanda vital dalam rentang normal, dan tak ada edema.
e.    Menunjukan perilaku untuk menganani stress.










DAFTAR PUSTAKA

Ø  Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Ø  Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.
Ø  Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Ed.3.EGC. Jakarta.
Ø  Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 Jilid 1. Media Aesculapius. Jakarta.
Ø  Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit Ed. 6 Vol 1. EGC. Jakarta.
Ø  Slamet suyono, dkk. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed.3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.


ASUHAN KEPERAWATAN
PENYAKIT JANTUNG REUMATIK

O
L
E
H
KELOMPOK II
TINGKAT IIB
1.       NOVITA SARI
2.       NOVIA
3.       FADLIA
4.       MOH. ISHAK
5.       ABD.RAHMAN
6.       MOH.FIKRAN TOOKI



POLITEKNIK KESEHATAN PALU
PRODI KEPERAWATAN POSO

T.A 2012