A. PENGERTIAN
Ø Penyakit
jantung reumatik adalah penyakit yang di tandai dengan kerusakan pada katup
jantung akibat serangan karditis reumatik akut yang berulang kali. (kapita selekta,
edisi 3, 2000)
Ø Demam Reumatik / penyakit jantung reumatik adalah penyakit
peradangan sistemik akut atau kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun oleh
infeksi Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A yang mekanisme perjalanannya
belum diketahui, dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu Poliarthritis
migrans akut, Karditis, Korea minor, Nodul subkutan dan Eritema marginatum.
B. ETIOLOGI
Penyebab
terjadinya penyakit jantung reumatik diperkirakan adalah reaksi autoimun
(kekebalan tubuh) yang disebabkan oleh demam reumatik. Infeksi streptococcus
β hemolitikus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam
reumatik baik demam reumatik serangan pertama maupun demam reumatik serangan
ulang.
Faktor-faktor
predisposisi terjadinya penyakit jantung rematik / Rheumatic Heart Desease
terdapat pada diri individu itu sendiri dan juga faktor lingkungan.
Faktor dari Individu diantaranya yaitu :
Faktor dari Individu diantaranya yaitu :
- Faktor genetik
Adanya antigen limfosit manusia (
HLA ) yang tinggi. HLA terhadap demam rematik menunjukan hubungan dengan
aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibodi monoklonal dengan status
reumatikus.
- Umur
Umur agaknya merupakan faktor
predisposisi terpenting pada timbulnya demam reumatik / penyakit jantung
reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun
dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur
3-5 tahun dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun.
Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi streptococcus pada
anak usia sekolah. Tetapi Markowitz menemukan bahwa penderita infeksi
streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun.
- Keadaan gizi dan lain-lain
Keadaan gizi serta adanya
penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor
predisposisi untuk timbulnya demam reumatik.
- Golongan etnik dan ras
Data di Amerika Utara menunjukkan
bahwa serangan pertama maupun ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada
orang kulit hitam dibanding dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus
dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada
kedua golongan tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang
sebenarnya.
- Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan
pada anak wanita dibandingkan dengan anak laki-laki. Tetapi data yang lebih
besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi
tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis kelamin.
- Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya
kesamaan antara polisakarida bagian dinding sel streptokokus beta hemolitikus
group A dengan glikoprotein dalam katub mungkin ini mendukung terjadinya
miokarditis dan valvulitis pada reumatik fever.
Faktor-faktor dari lingkungan itu
sendiri :
- Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Mungkin ini merupakan faktor
lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk terjadinya demam
rematik. Insidens demam reumatik di negara-negara yang sudah maju,
jelas menurun sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang
buruk sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat,
rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang
menderita sakit sangat kurang; pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk
perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor
yang memudahkan timbulnya demam reumatik.
- Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering
mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga
insidens demam reumatik juga meningkat.
- Iklim dan geografi
Demam reumatik merupakan penyakit
kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan didaerah yang beriklim sedang, tetapi
data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidens
yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula. Didaerah yang letaknya agak
tinggi agaknya angka kejadian demam rematik lebih tinggi daripada didataran
rendah.
C.
PATOFISIOLOGI
Terjadinya jantung rematik
disebabkan langsung oleh demam rematik, suatu penyakit sistemik yang disebabkan
oleh infeksi streptokokus grup A. demam rematik mempengaruhi semua persendian,
menyebabkan poliartritis. Jantung merupakan organ sasaran dan merupakan bagian
yang kerusakannya paling serius.
Kerusakan jantung dan lesi sendi
bukan akibat infeksi, artinya jaringan tersebut tidak mengalami infeksi atau
secara langsung dirusak oleh organism tersebut, namun hal ini merupakan
fenomena sensitivitas atau reaksi, yang terjadi sebagai respon terhadap streptokokus
hemolitikus. Leukosit darah akan tertimbun pada jaringan yang terkena dan
membentuk nodul, yang kemudian akan diganti dengan jaringan parut. Miokardium
tentu saja terlibat dalam proses inflamasi ini; artinya, berkembanglah miokarditis rematik, yang sementara
melemahkan tenaga kontraksi jantung. Demikian pula pericardium juga terlibat;
artinya, juga terjadi pericarditis rematik selama perjalanan akut penyakit.
Komplikasi miokardial dan pericardial biasanya tanpa meninggalkan gejala sisa
yang serius. Namun sebaliknya endokarditis
rematik mengakibatkan efek samping kecacatan permanen.
Endokarditis rematik secara anatomis
dimanifestasikan dengan adanya tumbuhan kecil yang transparan, yang menyerupai
manik dengan ukuran sebesar kepala jarum pentul, tersusun dalam deretan sepanjang
tepi bilah katup. Manic-manik kecil itu tidak tampak berbahaya dan dapat
menghilang tanpa merusak bilah katup, namun yang lebih sering mereka
menimbulkan efek serius. Mereka menjadi awal terjadinya suatu proses yang
secara bertahap menebalkan bilah-bilah katup, menyebabkan menjadi memendek dan
menebal disbanding yang normal, sehingga tidak dapat menutup dengan sempurna.
Terjadilah kebocoran, suatu keadaan yang disebut regurgitasi katup. Tempat yang
palinh sering mengalami regurgitasi katup adalah katup mitral.
Penyimpangan
KDM
DEMAM
REMATIK
streptococcus
beta-hemolyticus grup A.
reaksi
imonolgy ( anti body )
sarcolemma
myocardial
toxin
myocard rusak
stretolysin
titer o
Bersifat toxik
terhadap jaringan myocard
terhadap jaringan myocard
D.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala jantung yang muncul tergantung
pada bagian jantung yang terkena. Katup mitral adalah yang sering terkena,
menimbulkan gejala gagal jantung kiri: sesak napas dengan krekels dan wheezing
pada paru. Beratnya gejala tergantung pada ukuran dan lokasi lesi.
Gejala sistemik yang terjadi akan sesuai dengan virulensi organisme yang menyerang. Bila ditemukan murmur pada seseorang yang menderita infeksi sistemik, maka harus dicurigai adanya infeksi endokarditis.
Gejala sistemik yang terjadi akan sesuai dengan virulensi organisme yang menyerang. Bila ditemukan murmur pada seseorang yang menderita infeksi sistemik, maka harus dicurigai adanya infeksi endokarditis.
E.
KOMPLIKASI
Gagal jantung dapat terjadi pada
beberapa kasus. Komplikasi lainnya termasuk aritmia jantung, pankarditis dengan
efusi yang luas, pneumonitis reumatik, emboli paru, infark, dan kelainan katup
jantung.
F.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pasien demam rematik 80% mempunyai
ASTO positif. Ukuran proses inflamasi dapat dilakukan dengan pengukuran LED dan
protein C-reaktif.
G.
PENATALAKSANAAN
Tata laksana demam rematik aktif
atau reaktivitas adalah sebagai berikut:
1.
Tirah baring dan mobilisasi bertahap
sesuai keadaan jantung.
2.
Eradikasi terhadap kuman streptokokus
dengan pemberian penisilin benzatin 1,2 juta unit IM bila berat badan > 30
kg dan 600.000-900.000 unit bila berat badan < 30 kg, atau penisilin
2x500.000 unit/hari selama 10 hari. Jika alergi penisilin, diberikan
eritromisin 2x20 mg/kg BB/hari untuk 10 hari. Untuk profilaksis diberikan
penisilin benzatin tiap 3 atau 4 minggu sekali. Bila alergi penisilin,
diberikan sulfadiazin 0,5 g/hari untuk berat badan < 30 kg atau 1 g untuk yang
lebih besar. Jangan lupa menghitung sel darah putih pada minggu-minggu pertama,
jika leukosit < 4.000 dan neutrofil < 35% sebaiknya obat dihentikan.
Diberikan sampai 5-10 tahun pertama terutama bila ada kelainan jantung dan
rekurensi.
3.
Antiinflamasi
Salisilat biasanya dipakai pada demam rematik tanpa karditis, dan ditambah kortikosteroid jika ada kelainan jantung. Pemberian salisilat dosis tinggi dapat menyebabkan intoksikasi dengan gejala tinitus dan hiperpnea. Untuk pasien dengan artralgia saja cukup diberikan analgesik.
Pada artritis sedang atau berat tanpa karditis atau tanpa kardiomegali, salisilat diberikan 100 mg/kg BB/hari dengan maksimal 6 g/hari, dibagi dalam 3 dosis selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan 75 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu kemudian.
Salisilat biasanya dipakai pada demam rematik tanpa karditis, dan ditambah kortikosteroid jika ada kelainan jantung. Pemberian salisilat dosis tinggi dapat menyebabkan intoksikasi dengan gejala tinitus dan hiperpnea. Untuk pasien dengan artralgia saja cukup diberikan analgesik.
Pada artritis sedang atau berat tanpa karditis atau tanpa kardiomegali, salisilat diberikan 100 mg/kg BB/hari dengan maksimal 6 g/hari, dibagi dalam 3 dosis selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan 75 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu kemudian.
Kortikosteroid
diberikan pada pasien dengan karditis dan kardiomegali. Obat terpilih adalah
prednison dengan dosis awal 2 mg/kg BB/hari terbagi dalam 3 dosis dan dosis
maksimal 80 mg/hari. Bila gawat, diberikan metilprednisolon IV 10-40 mg diikuti
prednison oral. Sesudah 2-3 minggu secara berkala pengobatan prednison
dikurangi 5 mg setiap 2-3 hari. Secara bersamaan, salisilat dimulai dengan 75
mg/kg BB/hari dan dilanjutkan selama 6 minggu sesudah prednison dihentikan.
Tujuannya untuk menghindari efek rebound atau infeksi streptokokus baru.
H.
PENCEGAHAN
Dapat dicegah melalui
penatalaksanaan awal dan adekuat terhadap infeksi streptokokus pada semua
orang.
Langkah pertama dalam mencegah
serangan awal adalah mendeteksi adanya infeksi streptokokus untuk penatalaksanaan
yang adekuat, dan pemantauan epidemi dalam komunitas. Setiap perawat harus
mengenal dengan baik tanda dan gejala faringitis streptokokus; panas tinggi
(38,9°
sampai 40°C
atau 101°
sampai 104°F),
menggigil, sakit tenggorokan, kemerahan pada tenggorokan disertai aksudat,
nyeri abdomen, dan infeksi hidung akut.
Kultur tenggorok
merupakan satu-satunya metode untuk menegakkan diagnosa secara akurat.
Pasien yang rentan memerlukan terapi antibiotika oral jangka panjang atau perlu menelan antibiotika profilaksis sebelum menjalani prosedur yang dapat menimbulkan invasi oleh mikroorganisme ini. Pemberian penisilin sebelum pemeriksaan gigi merupakan contoh yang baik. Pasien juga harus diingatkan untuk menggunakan antibiotika profilaksis pada prosedur yang lebih jarang dilakukan seperti sitoskopi.
Pasien yang rentan memerlukan terapi antibiotika oral jangka panjang atau perlu menelan antibiotika profilaksis sebelum menjalani prosedur yang dapat menimbulkan invasi oleh mikroorganisme ini. Pemberian penisilin sebelum pemeriksaan gigi merupakan contoh yang baik. Pasien juga harus diingatkan untuk menggunakan antibiotika profilaksis pada prosedur yang lebih jarang dilakukan seperti sitoskopi.
ASUHAN
KEPERAWATAN
PADA
PENYAKIT JANTUNG REUMATIK
A.
PENGKAJIAN
a.
Aktivitas/istrahat
Gejala : Kelelahan,
kelemahan.
Tanda : Takikardia,
penurunan TD, dispnea dengan aktivitas.
b.
Sirkulasi
Gejala : Riwayat
penyakit jantung kongenital, IM, bedah jantung. Palpitasi, jatuh pingsan.
Tanda : Takikardia,
disritmia, perpindahan TIM kiri dan inferior, Friction rub, murmur, edema, petekie, hemoragi splinter.
c.
Eliminasi
Gejala : Riwayat
penyakit ginjal, penurunan frekuensi/jumlah urine.
Tanda : Urine
pekat gelap.
d.
Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri
pada dada anterior yang diperberat oleh inspirasi, batuk, gerakan menelan,
berbaring; nyeri dada/punggung/ sendi.
Tanda : Perilaku
distraksi, mis: gelisah.
e.
Pernapasan
Gejala : dispnea,
batuk menetap atau nokturnal (sputum mungkin/tidak produktif).
Tanda : takipnea,
bunyi nafas adventisius (krekels dan mengi), sputum banyak dan berbercak darah
(edema pulmonal).
f.
Keamanan
Gejala : Riwayat
infeksi virus, bakteri, jamur, penurunan sistem imun.
Tanda : Demam.
B.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
a.
Nyeri akut berhubungan dengan proses
inflamasi.
b.
Intoleran aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan.
c.
Penurunan curah jantung berhubungan
dengan perubahan dalam preload/peningkatan tekanan atrium dan kongesti vena.
d.
Kelebihan volume cairan berhubungan
dengan gangguan filtrasi glomerulus.
e.
Ansietas berhubungan dengan perubahan
status kesehatan.
C.
INTERVENSI
a.
Nyeri akut berhubungan dengan proses
inflamasi.
Tujuan : nyeri
hilang/ terkontrol.
Intervensi :
1.
Selidiki laporan nyeri dada dan
bandingkan dengan episode sebelumnya. Gunakan skala nyeri (0-10) untuk rentang
intensitas. Catat ekspresi verbal/non verbal nyeri, respons otomatis terhadap
nyeri (berkeringat, TD dan nadi berubah, peningkatan atau penurunan frekuensi
pernapasan).
R/
: Perbedaan
gejala perlu untuk mengidentifikasi penyebab nyeri. Perilaku dan perubahan
tanda vital membantu menentukan derajat/ adanya ketidaknyamanan pasien
khususnya bila pasien menolak adanya nyeri.
2. Berikan
lingkungan istirahat dan batasi aktivitas sesuai kebutuhan.
R/ : aktivitas
yang meningkatkan kebutuhan oksigen miokardia (contoh; kerja tiba-tiba, stress,
makan banyak, terpajan dingin) dapat mencetuskan nyeri dada.
3. Berikan
aktivitas hiburan yang tepat.
R/ : Mengarahkan
kembali perhatian, memberikan distraksi dalam tingkat aktivitas individu.
4. Dorong
menggunakan teknik relaksasi. Berikan aktivitas senggang.
R/ : Membantu
pasien untuk istirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali perhatian sehingga
menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan.
5. Kolaborasi
pemberian obat nonsteroid dan antipiretik sesuai indikasi.
R/ : Dapat
menghilangkan nyeri, menurunkan respons inflamasi dan meningkatkan kenyamanan.
b. Intoleran
aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan
kebutuhan.
Tujuan : Menunjukkan
peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas.
Intervensi :
1. Kaji
toleransi pasien terhadap aktivitas menggunakan parameter berikut: frekuensi
nadi 20/menit diatas frekuensi istirahat; catat peningkatan TD, dispnea atau
nyeri dada; kelelahan berat dan kelemahan; berkeringat; pusing; atau pingsan.
R/ : Parameter
menunjukkan respons fisiologis pasien terhadap stres aktivitas dan indikator
derajat pengaruh kelebihan kerja/jantung.
2. Kaji
kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh penurunan kelemahan/kelelahan, TD
stabil/frekuensi nadi, peningkatan perhatian pada aktivitas dan perawatan diri.
R/ : Stabilitas
fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat aktivitas individual.
3. Dorong
memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri.
R/ : Konsumsi
oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan jumlah oksigen
yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja
jantung.
4. Berikan
bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi, menyikat
gigi/rambut dengan duduk dan sebagainya.
R/ : Teknik
penghematan energi menurunkan penggunaan energi sehingga membantu keseimbangan
suplai dan kebutuhan oksigen.
5. Dorong
pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode aktivitas.
R/ : Seperti
jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan mencegah
kelemahan.
c.
Penurunan curah jantung berhubungan
dengan perubahan dalam preload/peningkatan tekanan atrium dan kongesti vena.
Tujuan : menunjukan
penurunan episode dispnea, nyeri dada, dan ditritmia.
Intervensi :
1.
Pantau TD, nadi apikal, nadi perifer.
R/ : Indikator
klinis dari keadekuatan curah jantung. Pemantauan memungkinkan deteksi dini/tindakan
terhadap dekompensasi.
2. Tingkatkan/dorong
tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 45 derajat.
R/ : Menurunkan
volume darah yang kembali ke jantung (preload), yang memungkinkan oksigenasi,
menurunkan dispnea dan regangan jantung.
3. Bantu
dengan aktivitas sesuai indikasi (mis: berjalan) bila pasien mampu turun dari
tempat tidur.
R/ : Melakukan kembali aktivitas secara bertahap mencegah pemaksaan terhadap cadangan jantung.
R/ : Melakukan kembali aktivitas secara bertahap mencegah pemaksaan terhadap cadangan jantung.
4. Berikan
oksigen suplemen sesuai indikasi. Pantau DGA/nadi oksimetri.
R/ : Memberikan
oksigen untuk ambilan miokard dalam upaya untuk mengkompensasi peningkatan
kebutuhan oksigen.
5. Berikan
obat-obatan sesuai indikasi. Mis: antidisritmia, obat inotropik, vasodilator,
diuretik.
R/ : pengobatan distritmia atrial dan ventrikuler khusnya mendasari kondisi dan simtomatologi tetapi ditujukan pada berlangsungnya/meningkatnya efisiensi/curah jantung. Vasodilator digunakan untuk menurunkan hipertensi dengan menurunkan tahanan vaskuler sistemik (afterload). Penurunan ini mengembalikan dan menghilangkan tahanan. Diuretic menurunkan volume sirkulasi (preload), yang menurunkan TD lewat katup yang tak berfungsi, meskipun memperbaiki fungsi jantung dan menurunkan kongesti vena.
R/ : pengobatan distritmia atrial dan ventrikuler khusnya mendasari kondisi dan simtomatologi tetapi ditujukan pada berlangsungnya/meningkatnya efisiensi/curah jantung. Vasodilator digunakan untuk menurunkan hipertensi dengan menurunkan tahanan vaskuler sistemik (afterload). Penurunan ini mengembalikan dan menghilangkan tahanan. Diuretic menurunkan volume sirkulasi (preload), yang menurunkan TD lewat katup yang tak berfungsi, meskipun memperbaiki fungsi jantung dan menurunkan kongesti vena.
d.
Kelebihan volume cairan berhubungan
dengan gangguan filtrasi glomerulus.
Tujuan : Menunjukkan
keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil, tanda vital dalam
rentang normal, dan tak ada edema.
Intervensi :
1.
Pantau pemasukan dan pengeluaran, catat
keseimbangan cairan (positif atau negatif), timbang berat badan tiap hari.
R/ : Penting
pada pengkajian jantung dan fungsi ginjal dan keefektifan terapi diuretik.
Keseimbangan cairan positif berlanjut (pemasukan lebih besar dari pengeluaran)
dan berat badan meningkat menunjukkan makin buruknya gagal jantung.
2.
Berikan diuretik contoh furosemid
(Lazix), asam etakrinik (Edecrin) sesuai indikasi.
R/ : Menghambat
reabsorpsi natrium/klorida, yang meningkatkan ekskresi cairan, dan menurunkan
kelebihan cairan total tubuh dan edema paru.
3.
Pantau elektrolit serum, khususnya
kalium. Berikan kalium pada diet dan kalium tambahan bila diindikasikan.
R/ : Nilai
elektrolit berubah sebagai respons diuresis dan gangguan oksigenasi dan
metabolisme. Hipokalemia mencetus pasien pada gangguan irama jantung.
4.
Berikan cairan IV melalui alat
pengontrol.
R/ : Pompa
IV mencegah kelebihan pemberian cairan.
5.
Batasi cairan sesuai indikasi (oral dan
IV).
Diperlukan
untuk menurunkan volume cairan ekstrasel/ edema.
6.
Berikan batasan diet natrium sesuai
indikasi.
R/ : Menurunkan
retensi cairan.
e.
Ansietas berhubungan dengan perubahan
status kesehatan
Tujuan : menunjukan
perilaku untuk menangani stress.
Intervensi :
1. Pantau
respons fisik, contoh palpitasi, takikardi, gerakan berulang, gelisah.
R/ : Membantu
menentukan derajat cemas sesuai status jantung. Penggunaan evaluasi seirama
dengan respons verbal dan non verbal.
2. Berikan
tindakan kenyamanan (contoh mandi, gosokan punggung, perubahan posisi).
R/ : Membantu
perhatian mengarahkan kembali dan meningkatkan relaksasi, meningkatkan
kemampuan koping.
3. Dorong
ventilasi perasaan tentang penyakit-efeknya terhadap pola hidup dan status
kesehatan akan datang. Kaji keefektifan koping dengan stressor.
R/ : Mekanisme
adaptif perlu untuk mengkoping dengan penyakit katup jantung kronis dan secara
tepat mengganggu pola hidup seseorang, sehubungan dengan terapi pada aktivitas
sehari-hari.
4. Libatkan
pasien/orang terdekat dalam rencana perawatan dan dorong partisipasi maksimum
pada rencana pengobatan.
R/ : Keterlibatan
akan membantu memfokuskan perhatian pasien dalam arti positif dan memberikan rasa
kontrol.
5. Anjurkan
pasien melakukan teknik relaksasi, contoh napas dalam, bimbingan imajinasi,
relaksasi progresif.
R/ : Memberikan
arti penghilangan respons ansietas, menurunkan perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan kemampuan koping.
D. EVALUASI
a. Melaporkan
nyeri hilang/terkontrol.
b. Menunjukan
peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas.
c. Melaporkan/menunjukan
penurunan episode dispnea, nyeri dada, dan disritmia.
d.
Menunjukkan keseimbangan masukan dan
haluaran, berat badan stabil, tanda vital dalam rentang normal, dan tak ada
edema.
e. Menunjukan
perilaku untuk menganani stress.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Brunner
dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Vol 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Ø Corwin,
Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.
Ø Doenges,
Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien Ed.3.EGC. Jakarta.
Ø Mansjoer,
Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 Jilid 1. Media Aesculapius.
Jakarta.
Ø Price,
Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit Ed.
6 Vol 1. EGC. Jakarta.
Ø Slamet
suyono, dkk. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed.3. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta.
ASUHAN
KEPERAWATAN
PENYAKIT
JANTUNG REUMATIK
O
L
E
H
KELOMPOK
II
TINGKAT
IIB
1. NOVITA
SARI
2. NOVIA
3. FADLIA
4. MOH.
ISHAK
5. ABD.RAHMAN
6. MOH.FIKRAN
TOOKI
POLITEKNIK
KESEHATAN PALU
PRODI
KEPERAWATAN POSO
|
|